ANISA YULIANDARI (28211644)
BERKAT KRISTIAN ZEGA (29211191)
DESSY TIODO SIMANJUNTAK (28211490)
IIF HUDZIFAH (28211169)
RAINALDO SIRAIT (25211801)
yuliandari.annisa@yahoo.co.id
berkat_zega@yahoo.co.id
dessydoo@ymail.com
iifhudzifah23@yahoo.com
rainaldo_sirait@yahoo.com
Penelitian
ini bertujuan melakukan pengembangan kompetensi inti dan konsep bisnis koperasi
sesuai realitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia berbasis ekonomi
rakyat.Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif,
yaitu Beyond Structuralism.Beyond
Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis
(kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi dijalankan
dengan metode Constructivist
Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk mengetahui secara empiris (habitus, capital, field dan practice)
aktivitas bisnis koperasi di Indonesia.Tahap pertama, teoritisasi antropologis
melalui sinergi antropologi sinkronis (realitas bisnis koperasi kontekstual)
dan antropologi diakronis (realitas bisnis koperasi fase awal). Tahap kedua,
melakukan sinergi keduanya untuk menemukan benang merah konsep kemandirian
berbisnis koperasi secara empiris di lapangan Teoritisasi diperlukan untuk
merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi.Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi
produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai
realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini
banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan
kebijakan, regulasi, supporting
movement, dan strategic
positioningberkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kompetensi
inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif.
Kata Kunci : Koperasi
Indonesia, Core Competencies, Sinkronis-Diakronis.
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling
pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi
informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat
globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin
membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi. Perkembangan
ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism.
Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan
Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir
seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat
dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat”
menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi
dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan
liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas
negara-negara.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi
melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun
demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan
dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD
1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan
pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha
sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan
kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah
anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat,
bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau
malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai
impian the founding fathers, menjadi
sokoguru perekonomian Indonesia?
Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah
berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi
Indonesia (Dekopin
2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri Negara
Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun
2009?
Banyak sudah program-program prestisius pengembangan
koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan,
“direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang
dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar,
sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha,
kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan),
kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai
dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis
(pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan
perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan
sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan
kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah
sampai nasional).
1.1.
Permasalahan
Tetapi
ternyata, seluruh ”treatment”
tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, ciri utama perkembangan
koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu
pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2)
lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi
fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk
koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa
mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana
mestinya.
Kedua, koperasi, lanjut
juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor
primer dan distrubusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk
Indonesia. Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar
ekonomi.. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan
menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang
terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan
(intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan
produsen, konsumen, bahkan alam.
Keempat, data perkoperasian Indonesia
sampai tahun 2006, didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi
karyawan, koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi
tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi
keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif.
Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah
koperasi di atas berdampak pada hilangnya sense untuk melakukan identifikasi
sebagai kompetensi inti (core competencies).
Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi – hanya dapat melakukan
identifikasi core product.
Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies merupakan “jantung” organisasi atau
perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk
menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis.
Berdasarkan beberapa masalah di atas penelitian ini
mencoba untuk menjawab pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki
kreasi pemberdayaannya sendiri, otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas
ekonominya, dan memiliki core competence-nya sendiri? Penelitian ini akan
membahas bagaimana mengembangkan koperasi yang sebenarnya dari realitas
masyarakat Indonesia.
1.2. Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah, pertama,
menggali konsep-konsep genuine berekonomi
dari realitas masyarakat Indonesia; kedua,
menempatkan konsep genuine berekonomi
sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga, menunjukkan bukti empiris bahwa
ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami
koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan
perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
KOPERASI
INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Pembangunan ekonomi saat ini hanya
diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu
perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan
terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya
tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat
mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang
banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya
masalah moral.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis
kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi
antara kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi
karena barat mengidentifikasi
realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk
konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala
besar, profesi terorganisir, dan lainnya. Masalahnya mega-structures tersebut
cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani
hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga
mediasi (mediating institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik,
sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur
makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi
menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan
sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti
itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh
sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola
bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi
kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan
dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat
Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh
semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya
dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi
seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya
jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di
negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya
telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat
dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi
merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan
ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya,
koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan
kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan
definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu
kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki positioningagar
memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi
yang perlu (necessary competencies)
dan kompetensi yang membedakan (differentiating
competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi
yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah
kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi
suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Suatu organisasi perlu memperhatikan
keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja
sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan
begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak
suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi
serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya. Dalam jangka pendek, kemampuan
kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan
yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu
menekankan pada differential
advantage. Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan
pada kemampuan untuk mengembangkan core
competencies.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama,
dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan
disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk
konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan
kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan
setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential
advantage, karena hal
itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi
bisnis agar dapat menjalankan going
concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah,
diperlukan core competence yang
memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata
kunci core competence agar
dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology”
dan “decisively in services”.
METODE PENELITIAN
Beyond Strukturalism
Pengembangan
bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi BeyondStrukturalism, diadaptasi dari
metodologi Hiperstrukturalisme . Beyond Strukturalism memiliki dua
tahapan, pertama, pengembangan metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk
metode penelitian.
Salah satu yang harus ditentukan pada metodologi
penelitian adalah metode dan tujuan penelitian . Setelah dilakukan pengembangan
metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum metode
dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri
merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini adalah
penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
1.
Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme dan
postrukturalisme. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami
interkoneksi unsur-unsur
pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di
balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsur-unsur
realitas; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis
di lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar
waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui
strukturalisme dalam melihat realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas,
mulai dari tulisan (writing),
jejak (trace), perbedaan
sekaligus penundaan tanda (differance),
serta hasil penundaan (arche-writing). Postrukturalisme juga
melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas melalui konteks integasi
sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis
tidak hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga
perkembangan antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris
dilakukan saling silang makna aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis)
maupun masa lampau seperti ide koperasi dari Hatta (diakronis).
2. Bentuk Metode Sebagai Turunan
Metodologi
Metode
penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme. Ekstensi
merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris di lapangan.
Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism. Constructivist
Structuralism (selanjutnya
disingkat CS) selalu menginginkan titik temu teori dan praktik yang mungkin
melibatkan field (ruang
sosial) dan habitus (perilaku
individu tanpa sadar) . Unsur penting CS bahwa tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku
individu.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui
“ekstensi” Constructivist
Structuralism dilakukan melalui habitus, field,
capital dan practice.
Artinya, fase ini merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya
terdapat nilai-nilai yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara
material-batin-spiritual.
Proses penelitian dilakukan, pertama, penggalian data
tertulis baik akademis maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara
dan pendalaman makna dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis
koperasinya. Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang
terdapat dalam aktivitas manusia. Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun
dari beberapa elemen dan selalu memiliki hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang
tergambar. Unit tidak bisa dipecah dalam elemen-elemen tunggal.” Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Interaksi Realitas Sinkronis-Diakronis
Penelusuran substansi
konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan melakukan
sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek
antropologis pikiranekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra
kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta
menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek
antropologis beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia.
Sinergi diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus
substansi konsep koperasi.
1.
Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari
waktu ke waktu sampai sekarang . Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami
pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara
menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim
lingkungannya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang
konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R.
Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi
Oetomo dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah
tangga. Sarekat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak
di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi.
Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di
Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah
pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan kongres 1929 bahwa untuk
meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kongres
Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan
koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya.
Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain
koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu
dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung
menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915
diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya
pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk
Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang
menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915,.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah
koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan
pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit
memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan
berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan
distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi
perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah,
beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara
Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang
(misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang
untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi)
dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan
pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan
masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha
memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu
pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada
akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat
sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia
bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan
berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan
menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus
koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres
koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan
antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang
disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta
menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai
dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk
mengembangkan perkoperasian. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah
sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik
organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli
1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung.
Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia
(SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1
sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta. Keputusan
Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga
mengenai hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan
Koperasi No. 79 Tahun 1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai
berlaku tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika
dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan
Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia
sendiri dalam suasana kemerdekaan.
2.
Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi
diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis masyarakat
koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman
koperasi yang biasa. Tahun 1993 dapat proyek pengembangan
mikrolet. Tahun 1995
dapat proyek penggemukan sapi. Tahun 1997 dapat proyek lagi untuk distribusi
beras ke pondok-pondok semuanya berjalan lancar.
Hal itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat
ini. Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi
karyawan dengan model swalayan atau retail. Masyarakat sekarang masih
membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya. Kita ini kan memang mencoba
membantu mengentaskan mereka dari jebakan rentenir pasar.
Masyarakat kita sekarang masih diproyeksikan pada
tataran itu. Tetapi ketika diupayakan menjadi lebih berorientasi produktif,
koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber daya alam Indonesia penuh
dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif. Apalagi bila mau
dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit dikembangkan. Pesimisme tersebut sebenarnya juga
tidak terlalu signifikan. Penggerak koperasi ternyata masih memiliki semangat.
3. Sinergi
Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat
disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat
bahwa habitus masyarakat
Indonesia dalam mengembangkan (practice)
koperasi (field) didasarkan
kepentingan pemberdayaan (capital).
Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan
kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi
di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan
lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan
lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan
koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal
Muhammadiyah berkenaan produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat
kuat dan bertahan lebih lama dari gerakan intermediasi, karena memiliki
kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut sebagai core competencies. Hanya perbedaannya,
kompetensi inti berorientasi pada kepentingan individual, sedangkan
kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada karakter koperasi
Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan
mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi.
Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri,
otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi
dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi
terlalu jauh. Bila dirujuk pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi
koperasi sekarang telah kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies,
dan hanya dapat mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan
produk telah jauh tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan
substansi dari core product yang
lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara
gradual dan menurun.
Pesona statistik tentu tak bisa dijadikan patokan
tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia secara
kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di
dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar
kuat tak sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat
di negeri ini. Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia
empat tahun terakhir, dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi
lebih dari 123 ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM,
2006). Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak
cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat masih
terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka melalui
koperasi.
Tetapi kenyataannya, kita harus berlapang dada menerima
kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi belum memberikan
kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan yang sangat
kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari
perkembangan koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam
mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak berkembangnya
ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan wadah koperasi
sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan dalam zona
sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang tidak
sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang
optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya banyak
keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence juga dapat
muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Jika 70,000 koperasi berkualitas
ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas
terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan
memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan
kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi
internal yang tumbuh, maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi.
Umumnya intervensi pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung
dan kehilangan keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian
dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa
masuk kategori berkualitas. Intervensi pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan
potensi internal koperasi dan rekayasa kriteria klasifikasi hanya akan
menghasilkan klasifikasi koperasi yang kualitasnya dibawah standar. Koperasi-
nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan kualitasnya.
Umumnya pencapaian target
pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang
memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme
dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi
koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan
koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota
dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecenderungan gerak koperasi sekarang juga
kembali ke logika awal pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di
Indonesia, fungsi intermediasi. Hal ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga
Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga
bentuk Koperasi Serba Usaha, yang bergerak di bidang retail. Kebalikannya,
koperasi produktif meskipun secara sporadis banyak memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi
kecenderungan terus menurun.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi
orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada
waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan PeraturanPerkoperasian
tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan
Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus
meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun
1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak
7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari
574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi adalah koperasi yang bergerak
dibidang simpan-pinjam sedangkan selebihnya adalah koperasi jenis konsumsi
ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah
adalah koperasi lumbung.
Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta
penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun
perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di
dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan
daripada BUMN dan Swasta.
Terjadinya agresi I dan II Belanda
terhadap Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiun 1948 banyak merugikan
gerakan koperasi. Tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian. Peraturan ini
dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah
Indonesia yang isinya hampir sama dengan Peraturan Koperasi Staatsblad No. 91
tahun 1927, dimana ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Indonesia
sehingga tidak memberikan dampak berarti bagi perkembangan koperasi.
Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan
di muka DPR berkaitan program perekonomian. Untuk memperbaiki
perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu
“program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu usaha untuk menciptakan
suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi; usaha
lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi; mengurus perusahaan rakyat yang
dapat diselenggarakan atas dasar koperasi. Usaha tersebut dilanjutkan Kabinet
Ali Sastroamidjodjo
Di samping itu mewajibkan DKI
membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi
di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada
Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta
mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Meskipun gerakan
koperasi batik kemudian banyak mengalami kendala. Penjelasan yang mungkin
adalah pemberdayaan koperasi ketika bertemu dengan kepentingan kapitalistik,
maka gerakan koperasi menjadi melemah. Buktinya, gerakan koperasi batik pernah
mengalami kejayaan dan menggurita menjadi holding company, tetapi lupa pada akar tradisi habitus perbatikan, yaitu
kesejahteraan anggota secara luas dan empati sosial lingkungannya.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Konsep kemandirian,
kompetensi inti kekeluargaan dan
sinergi produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi
sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat
ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar.
Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting
movement (bukannya intervention
movement), dan strategic
positioning (bukannya sub-ordinat
positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian,
kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif.
Paling penting adalah menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi
koperasi berbasis pada sinergi produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi
Natural model Hatta. Sinergi produktif-intermediasi-retail harus dijalankan
dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya, pengembangan keunggulan
perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus dilandasi pada prinsip
kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi, soliditas
organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Agenda mendesak. Pertama,
menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan. Sebagai komparasi
mungkin diperlukan parameter untuk mengidentifikasi
kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi. Kompetensi inti memang berasal
dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun tidak semua sumber daya dan
kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya
perluasan (ekstensi) model tiga parameter tersebut. Kedua, diperlukan pemacu bentuk koperasi secara seimbang. Koperasi
produktif perlu digalakkan, sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan keanggotaannya
memiliki keseimbangan dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi
fungsional, koperasi retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif
lama perlu kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi
usaha. Perlu juga menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di bidang
produktif, seperti pertambangan, energi, industri, otomotif, industri keperluan
rumah tangga (sabun, sikat gigi, pasta gigi, shampoo, dll), teknologi
pertanian, dll.
Agenda menengah. Beberapa tahun ke depan perlu merancang
pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri. Artinya, saatnya memikirkan lebih
konkrit mekanisme yang menyentuh langsung pada sektor riil. Beberapa hal dapat
dilakukan, pertama, menemukan
formulasi mikro ekonomi untuk semua. Mekanisme gotong-royong bukan hanya
sebagai bentuk idealisme, tetapi perlu dielaborasi lebih jauh sebagai inti
pendekatan mikro yang berdampak pada ekonomi makro. Kedua, menemukan dari bawah mekanisme berdagang, berinvestasi,
produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi rakyat secara luas dan
berkeadilan. Ketiga, mengembangkan
akhlak bisnis ekonomi rakyat berbasis kekeluargaan ala Indonesia. Keempat, menggali dan mengangkat
kearifan lokal dalam berekonomi. Konsekuensinya adalah menelusuri mekanisme
manajemen, administrasi dan keuangan/akuntansi ekonomi rakyat sesuai realitas
Ke-Indonesia-an. Kelima,
mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar kepentingan ekonomi, sosial,
lingkungan untuk semua
Agenda jangka panjang. Kenyataan
program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek teknologi dan
segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan,
profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih
berkaitan dengan anthropocentric
oriented. Demikian pula perjuangan ekonomi kerakyatan berbasis
sosial, berbasis masyarakat Indonesia, perluasan bentuk demokrasi ekonomi semua
juga tidak lepas dari nuansa sosialisme model baru yang juga tetap
berpola materialism and
anthropocentric oriented.
Atau lebih jauh
dari itu semua, apakah prioritas pemberdayaan dan penguatan ekonomi rakyat
bukan hanya “materialism and anthropocentric oriented”? Bila kita angkat pada
hal yang lebih normatif, bentuk pemberdayaan terbatas pada materialitas,
kepentingan ego manusia, baik pribadi maupun kelompok mungkin tidak layak lagi
dikumandangkan. Pemberdayaan holistik baik materialitas, egoisme diri, sosial
harus dikembangkan dan diperluas lebih jauh.
Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya
perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh
kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan
sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat
martabat manusia berke-Tuhan-an. Keluar dari Materialisme Ekonomi versi Amerika
juga seharusnya tidak serta merta menyetujui antitesisnya seperti Marxisme,
atau yang lebih “soft” misalnya
gerakan Materialisme Sosialis maupun Sosialisme Baru. Menjadi benarlah pesan
HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju sosialisme tidaklah berguna,
karena keduanya masih menuhankan benda. Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk
rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab
sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas
ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang menggunakan spiritualitas untuk
kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan
kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Masngudi. 1990. Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Koperasi di
Indonesia. Badan Penelitian Pengembangan Koperasi.
Departemen Koperasi. Jakarta.
Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the
Corporation. Harvard Business Review. May-June. pp 1-12.
Soetrisno, Noer. 2003. Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan
Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat.
Soetrisno, Noer. 2002. Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan. Jurnal
Ekonomi Rakyat. Th II No. 5 Agustus.